keberangkatan pun ditunda. Ada 500 paket alat sekolah (buku tulis, pensil, pulpen, serutas dan penghapus), sepatu baru dan layak pakai, baju layak pakai dan tas layak pakai siap dibagikan di desa yang hanya memiliki dua sekolah tingkat menengah atas.
Rombongan sampai di Naringgul tepat pukul 00.30 waktu setempat.
Perjalanan sejauh 160 km itu ditempuh dalam waktu 4 hingga 5 jam
lamanya. Jalan yang berliku-liku dan minimnya penerangan menjadi
hamabatan utama perjalanan sahabat KITA. Namun, keinginan bertemu
adik-adik di Naringul
seolah menjadi api yang membakar semangat untuk segera sampai disana. Dayung pun bersambut. Walaupun sudah tengah malam, namun Pak Catim (tokoh masyarakat) telah lama mennunggu kedatangan kami. Bak keluarga kerajaan yang datang, segala sesuatunya telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan segala kesederhanaan, keluarga Pak Catim berusaha memberikan fasilitas terbaik untuk sahabat KITA. Setelah berbincang mengenai maksud dan tujuan KITA datang ke Naringgul, kami pun dipersilahkan untuk beristirahat. Mengingat banyak yang harus dikerjakan setelah matahari terbit. Dan dijadwalkan tepat jam delapan pagi KITA akan mengunjungi tiga sekolah dasar dan jika memungkinkan akan berkunjung pula ke SMP 1 Naringgul.
seolah menjadi api yang membakar semangat untuk segera sampai disana. Dayung pun bersambut. Walaupun sudah tengah malam, namun Pak Catim (tokoh masyarakat) telah lama mennunggu kedatangan kami. Bak keluarga kerajaan yang datang, segala sesuatunya telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan segala kesederhanaan, keluarga Pak Catim berusaha memberikan fasilitas terbaik untuk sahabat KITA. Setelah berbincang mengenai maksud dan tujuan KITA datang ke Naringgul, kami pun dipersilahkan untuk beristirahat. Mengingat banyak yang harus dikerjakan setelah matahari terbit. Dan dijadwalkan tepat jam delapan pagi KITA akan mengunjungi tiga sekolah dasar dan jika memungkinkan akan berkunjung pula ke SMP 1 Naringgul.
Perjalanan panjang semalam ditambah mempersiapkan segala perbekalan
sejak pagi, membuat sahabat KITA tidur nyenyak dan bangun kesiangan.
Semula sarapan yang dijadwalkan jam tujuh pagi, molor hingga satu jam.
Menjelang pukul sembilan kami baru berangkat menuju sekolah-sekolah.
Sekolah pertama yang dikunjungi yaitu SD Datar Kubang. Letaknya tidak
begitu jauh dari rumah Pak Catim. Ini adalah salah satu sekolah yang
terdekat dari pemukiman warga. Karna sekolah yang lain jaraknya sangat
jauh dari pemukiman warga. Bayangkan saja, untuk sampai ke sekolah tepat
waktu, mereka harus berangkat sejak subuh hari atau bahkan sesaat
setelah melaksanakan shalat subuh karna memang tak ada angkutan umum.
Yang ada hanya tukang ojeg dan tarifnya pun hingga Rp. 75.000 untuk
sekali keberangkatan. Ketika sampai di Datar Kubang, kedatangan sahabat
KITA disambut meriah oleh anak-anak yang tengah bermain di lapangan
sekolah. Seperti kedatangan seleb papan atas yang dinanti para fans-nya.
Sahabat KITA yang jumlahnya 16 orang langsung dikelilingi oleh
anak-anak. Ada yang berbincang-bincang dengan anak-anak, ada yang
bermain voli hingga bulu tangkis. Momen ini seolah mengembalikan ingatan
kami saat masa kecil. Rasa haru muncul ketika melihat diantara mereka
yang ke sekolah hanya mengenakan sendal jepit, sepatu lusuh, atau
seragam yang sudah kekuningan. Namun, itu semua rasanya tak jadi
halangan bagi mereka untuk terus menuntut ilmu. Senyum mereka yang tulus
mengartikan bahwa, segala hal yang dihadapi sudah biasa dan bukan
menjadi masalah.
Sementara itu, sebagian sahabat KITA yaitu Eki, Sita dan Ardi menemui
pihak sekolah untuk menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan KITA ke SD
Datar Kubang. Setelah itu, Puji sang motivator mengumpulkan anak-anak
untuk memeberikan motivasi-motivasi kepada adik-adik yang masih sekolah.
Usai kelas motivasi, KITA membagikan paket alat sekolah pada mereka
yang hadir saat itu. Lengkap saja kebahagian terlihat di raut wajah
kepolosan mereka ketika masing-masing mendapat paket tersebut. KITA juga
menitipkan beberapa paket alat seklah untuk mereka yang tidak hadir.
Setelah itu KITA berfoto-foto untuk dijadikan dokumntasi kegiatan.
Sebenarnya sahabat KITA masih ingin bercengkrama lebih lama lagi, namun
karna hari semakin siang dan masih banyak sekolah yang belum dikunjungi,
maka KITA pun segera berpamitan dan bergegas menuju sekolah
selanjutnya. Tak lupa kami KITA juga memberitahukan bahwa nanti malamnya
akan ada nonton bareng di pusat desa dan banyak hadiah yang akan
dibagikan. Mereka pun berjanji akan datang nanti malam beserta keluarga
dan sanak saudaranya.
Sekolah berikutnya yaitu SD Tutugan. Letaknya di Desa Tutugan Kecamatan
Naringgul. Jaraknya cukup jauh dari SD Datar Kubang. Setelah mencari
tahu alamatnya, diputuskan bahwa KITA akan kesana dengan menggunakan dua
mobil dan satu motor, karena hari semakin siang dan dikhawatirkan tidak
ada lagi siswa yang belajar. Sebelumnya, beberapa warga mengingatkan
untuk hati-hati jika menggunakan mobil, karna medannya cukup terjal dan
hanya bisa dilalui mobil tertentu seperti jeep misalnya. Namun KITA
tetap pergi kesana dan sedikit tidak mengindahkan peringatan itu.
Walhasil, Avanza yang dikendarai Ardi hampir saja kehilangan kendali (nyorosot)
ketika di tanjakan berbatu. Aryanti yang memang mudah panik pun
akhirnya memilih turun dari mobil dari pada ia tetap didalam melihat
Ardi bersusah payah mengendalikan mobil. Beberapa waktu kemudian, mobil
pun akhirnya berhasil naik ke puncak tanjakan.
Usai rehat sejenak setelah lolos dari jebakan, kami melanjutkan
perjalanan munuju SD Naringgul. Kali ini lahan parkir luas karna di
depan SD ada kantor kecamatan yang memiliki lahan yang sangat luas.
Namun, kejadian yang sama di SD Tutugan pun terjadi. Tak ada siswa yang
masih disekolah, hanya tinggal seorang guru itu pun hendak pulang. Jika
terlambat lima menit saja, sudah dipastikan tak ada orang yang dapat
kami temui. Hal yang sama kami lakukan dengan SD Tutugan pun dilakukan.
KITA menitipkan paket alat tulis sejumlah siswa yaitu 120 orang untuk
dibagikan ke siswa yang ada.

Lepas itu, KITA kembali menuju base camp untuk makan siang dan
mempersiapkan acara nonton bareng nanti malam. Setelah makan siang, ada
yang tidur, karena kelelahan, dan ada juga yang mempersiapkan
hadiah-hadiah untuk acara nanti malam. Setelah Adzan ashar, sahabat KITA
mandi di sungai dekat rumah Pak Catim. Ternyata masih banyak warga yang
memanfaatkan sungai sebagai tempat mencuci piring, mencuci pakaian
bahkan mandi. Tak malu-malu mereka hanya mengenakan kain sarung untuk
menutupi tubuhnya (untuk wanita). Ini merupakan kejadian langka yang tak
pernah terpikirkan sebelumnya. Wajar saja, air yang mengalir masih
sangat jernih. Airnya sejuk dan tidak begitu deras arusnya sehingga
tidak begitu berbahaya bagi yang tidak ahli berenang. kedalamannya pun
dangkal. Bagi sahabat KITA yang dari kota, tentu saja tidak ingin
melewatkan kesempatan ini.


Esok paginya, kami bangun lebih awal dari hari sebelumnya karena jam delapan pagi kami harus segera meninggalkna Naringgul untuk mampir ke pantai Wijayanti sebelum kembali ke Bandung. Namun, Pak Catim yang baru sempat lagi menemui KITA saat itu mengajak kami berbincang hingga lebih dari jam delapan. Kami pun tak bisa memotong begitu saja, mengingat beliau tuan rumah sekaligus sesepuh disini dan banyak informasi yang bisa didapat darinya. Dalam perbincangan pagi itu, ia berpesan kepada sahabat KITA yang semuanya mahasiswa untuk menjaga nama baik almamater dan keluarganya. Karena bagi sebagaian masyarakat, image mahasiswa adalah anak muda yang memiliki emosi yang tak terkendali seperti arogan. Hal ini terjadi akibat akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang demo mahasiswa yang berakhir ricuh.
Usai bincang pagi bersama Pak Catim, kami pun segera sarapan. Sarapan kali ini kembali istimewa. Jika kemarin kami di beri tambahan lauk sate maranggi, pagi ini kami diberi gulai jeroan sapi. Masakan ibu memang tiada duanya. Tanpa malu-malu kami menyantapnya dengan semangat 45. Setelah makan kami pun segera bersiap-siap untuk pulang. Ibu Catim sangat sedih melihat kepergian kami. Saat berpamitan, Bu Catim memeluk Sitta dan terlihat cucuran air mata dari keduanya dan beberapa sahabat KITA yang ada saat itu. Hanya dua hari kami tinggal bersama di rumah itu, namun rasanya sudah lama tinggal disana.
Tak lupa, sebelum kami meninggalkan Naringgul, kami berfoto dengan warga disana. Kebetulan saat kami hendak pulang, ada warga yang tengah menyiapkan pesanan sate maranggi. Kami pun mengajak mereka untuk berfoto bersama sebagai dokumntasi dan kenangan dari Naringgul. Setelah puas berfoto, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju panatai Wijayanti. Dari keterangan warga, dibutuhkan waktu 2 jam untuk sampai disana dan medannya pun cukup sulit dilalui karna keadaan jalan yang rusak.


Baju masih basah, namun Ardi mengatakan kita akan mencari tempat untuk bilas yang lebih enak, tidak di sekitar pantai tersebut. Sepanjang perjalanan kembali ke Naringgul, tak ditemukan masjid besar yang tentunya ada fasilitas kamar mandi. Hingga melewati rumah Pak Catim kami tetap belum menemukan tempat untuk bilas. Hingga akhirnya kami menemukan air terjun yang berada dipinggir jalan. Tanpa buang waktu, kami pun segera mandi disana. Kesejukan air gunung, membuat kami lupa bahwa banyak kendaraan yang lalu lalang disana. Bahkan Epul dan sahabat KITA yang laki-laki pun unjuk gigi yang lebih pantas disebut kontes pria berbadan tambun. Hanya Rudi saja yang tak ikut dalam sesi itu, mungkin karna ia malu dengan badannya yang tak setambun yang lain kecuali Epul.
Setelah itu kami pun segera berganti baju di musolah yang tak jauh dari
sana. Usai sholat ashar, kami pun langsung menuju Bandung lewat Ciwidey.
Hari menjelang malam. Setelah melalui jalan yang berliku dan terjal,
kami harus dihadapkan oleh awan yang turun. Tepat waktu adzan magrib.
Awan perlahan turun. Udara semakin menusuk hingga ketulang meski sudah
mengenakan jaket. Tak adanya penerangan sedikitpun kecuali lampu dari
mobil. Jarak pandang yang hanya 3 meter pun semakin menyulitkan. Sahabat
KITA yang lain membantu dengan doa. Semua terlihat tegang dan panik.
Tiga puluh menit kemudian akhirnya awan yang menutupi pandangan hilang.
Setelah menemukan masjid dipinggir jalan, kami pun segera melaksanakan
sholat magrib dan isya. Usai shalat berjamaah di mesjid di kawasan
Ciwidey, kami pun segera kembali ke Bandung. Menjelang tengah malam kami
sampai di Bandung. Rupanya kota kembang itu tengah di guyur hujan.
Dimas dan Ardi pun mengantar sahabat KITA hingga ke rumahnya
masing-masing.
Safari Desa perdana ini terbilang sukses. Banyak hikmah dan pelajaran
yang dapat diambil dari perjalanan tiga hari dua malam ini. Walaupun
baru pertama bertemu, para sahabat KITA sudah sangat kompak dalam
menjalankan program ini. Semoga untuk kegiatan mendatang akan lebih
sukses!!! -aafy-
KITA!
KITA!!
KITA!!!
INDONESIA...!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar